Langsung ke konten utama

Serial: Republik Asasia (10)

Bagian 10:  Penjual Ubi
Voda Abdal tampak mengendap di pekarangan sebuah puri megah tua. Tua tidak dalam artian kumuh. Melainkan tua dari segi histori yang menyertai rumah tersebut seiring usianya yang hampir mencapai 200 tahun. Tua namun selalu tampak cantik berkat perhiasan yang tersemat mengelilinginya berupa pekarangan yang tertata apik. Rumput jenis Peking mendominasi. Dibeberapa sudut berbagai jenis bunga warna-warni memberi kontras pada hijaunya rumput. Di bagian tengah begitu mencolok sebuah air mancur dari marmer dengan bagian atasnya berupa patung pria berjubah yang sedang memegang kapak besar.

Patung tersebut merupakan patung dari Goran Hava sang Tsalut udara kelima. Dia begitu terkenal pada masanya karena mampu menumbangkan salah satu pohon di Koren dengan sekali tebasan kapak besarnya. Puri tersebut juga merupakan kediamannya yang sepeninggalnya ditempati turun temurun oleh anak cucunya. Saat ini Puri Hava dikepala rumah tanggai oleh Rapha Hava yang merupakan ayah dari Uria dan Azra.

Voda kini berhasil menyelinap masuk puri. Targetnya adalah benda pusaka yang selalu direbutkan Uria dan Azra. Benda tersebut merupakan kunci untuk membuka peti yang ditemukannya tadi di hutan Koren. Benda yang selalu membuatnya dendam pada Tsalut api dan Tsalut udara. Benda milik gurunya sendiri sang Tsaluts air. Benda berupa pisau yang pada akhirinya mengakhiri hidup gurunya di pertarungan dahsyat 2 tahun lalu.

Tanpa disadari matanya mulai berkaca. Di kepalanya kini terlintas sosok sang guru yang telah dianggapnya kakak sendiri. Mizu Knol sebelum menjadi Tsaluts air merupakan penjual ubi bakar di pasar kota. Pertemuan guru dan murid ini pertama kali dimulai 7 tahun yang lalu.

***

Terlahir ke dunia tanpa ayah hanyalah salah satu dari rangkaian nasib yang dialami Voda Abdal. Ibunya yang sedari kecil punya masalah kejiwaan entah bagaimana dalam beberapa bulan perutnya tampak membesar hingga akhirnya diketahui sedang mengandung. Pihak keluarga akhirnya membuang sang ibu ke Hutan Koren tanpa ingin tahu siapa yang tega menghamili. Seminggu sekali pihak keluarga mengunjungi sang ibu yang dikerangkeng di cerukan mirip gua hingga akhirnya Voda Abdal lahir.

Deritanya Voda tak sampai disitu bahkan baru dimulai. Keluarga tak ada yang menghendaki si "anak haram". Voda yang masih bayi diurus sekenanya bersama sang ibu di dalam cerukan Koren. Kekurangan gizi dan kasih sayang membuat bentuk tubuhnya tidak simetris. Hingga usia 6 tahun dia di ceruk dan di usia ketujuh dia telah berani memasuki perkampungan.

Meski banyak yang seumuran, Voda tak punya teman sepermainan. Jangankan anak sepantar, orang dewasa saja akan bergidik melihat rupa Voda yang memang mengerikan. Karena tak berayah orang sering menyebutnya sebagai anak setan. Tak jarang tanpa sebab dirinya dipukuli orang tanpa alasan jelas. Puncaknya dia diusir dari perkampungan karena dianggap membawa sial. Namun rupanya tuhan selalu menciptakan kelebihan bahkan bagi orang seperti Voda. Kelebihan itu berupa kesabaran.

Suatu hari dia memberanikan diri menuju kota. Keagungan dan kebijaksanaan para Tsaluts terdengar ditelinganya. Di kota Voda berharap bisa bertemu salah satu Tsalut dan meminta perlindungan darinya. Namun sayang, baru sampai di gerbang kota. Dirinya keburu diusir penjaga gerbang. Melihat penampilan Voda, penjaga takut jika dia membawa penyakit menular ke dalam kota.

Voda hendak membalik badan untuk kembali ke perkampungan. Namun dirinya sadar telah diusir karena tak diinginkan. Kakinya kini malah melangkah ke sebuah naungan di samping gerbang kota. Langit mulai menggelap dengan sesekali diriuhi halilintar. Detik selanjutnya turunlah hujan.

Voda jadi yang pertama berteduh di naungan. Beberapa orang mencoba berteduh di sana pula. Namun menjadi risih karena keberadaan Voda. Mereka memilih kembali berjalan meski diguyur hujan. Mendapat perlakuan demikian Voda semakin tertunduk pilu. Hingga sebuah suara membuatnya mendongakan kepala.

"Ubi bakar?" Tawar seseorang yang tanpa diketahuinya telah duduk di sampingnya.

"Mau ubi bakar, dik?" Kembali pemuda itu menawarkan ubi bakar pada Voda.

"Sudah dingin tapi masih enak. Maklum, sisa dagangan." Cakap si pemuda disertai senyum tulus.

Dengan ragu-ragu Voda meraih ubi bakar dari tangan si pemuda. Dirinya memang belum makan apapun sejak kemarin. Dengan sekejap ubi berpindah ke perut Voda. Si pemuda kembali menyodorkan sepotong ubi. Kali ini Voda menyambar tampa ragu. Sekejap pula ubi kedua raib ke perut Voda.

Lima potong ubi Voda habiskan. Voda kini kembali menatap si pemuda. Voda heran dengan sorot mata si pemuda yang berbeda dengan sorot mata orang-orang yang pernah ditemuinya. Sorot mata si pemuda tidak menampakan risih apalagi jijik. Yang tampak hanya ketulusan jiwa. "Kakak tidak jijik melihat rupaku?" Voda memulai pembicaraan.

"Jijik? Kenapa harus jijik? Memang agak menakutkan, tapi jika ditatap lama-lama tidak terlalu menakutkan." Jawab si pemuda. "Anggap saja manusia itu seperti ubi. Sebagus apapun kulitnya, tetap yang diambil dalamnya."

"Sepertinya hujan mulai reda. Tampaknya kamu juga tidak punya tujuan. Ikut saja denganku. Kuajarkan caranya membuat ubi bakar spesial. Oh iya, namaku Mizu Knol. Orang di pasar pasti kenal siapa aku. Soalnya..."

Voda mulai melangkahkan kaki mengikuti si pemuda yang ternyata Mizu. Omongan Mizu tak sepenuhnya dia dengarkan. Suara batinnya lebih keras dari obrolan Mizu. Batinnya terus mendengungkan agar dirinya tak boleh jauh dari Mizu. Mizu diyakininya sebagai jawaban atas kesabaran selama ini. "Tak akan kubiarkan siapapun menyakiti satu-satunya orang yang menganggapku selayaknya manusia." Voda berjanji daam batin. Voda melangkah mantap mengikuti Mizu. Keduanya hilang ditikungan jalan.

***

Voda tersadar dari lamunan. Kini dirinya telah berdiri tepat di depan Uria yang sedang tertidur lelap. Pemuda "cantik" itu tampak tertidur manis. Mata Voda berkeliling ruangan. "Dimana pisau itu?" Voda membatin.

Tak berhasil menemukan yang dicarinya, Voda berpindah ke kamar Azra. Namun lagi-lagi hasilnya nihil. Ruangan lain tak luput dari pencariannya. Dahinya mulai berkernyit. Satu-satunya ruangan yang belum diperiksa adalah ruangan sang empunya rumah. Kamar Rapha Hava ayah dari Uria dan Azra.

Voda menelan ludah. "Demi sang guru!" Batinnya mencoba menguatkan.

(bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tutorial Photoshop: Efek Tulisan di Kaca

Berikut ini merupakan video tutorial photoshop untuk membuat efek tulisan pada kaca berembun. Kunci dari tutorial ini adalah dari jenis font/ huruf yang digunakan. Usahakan menggunakan font jenis handwritting/ tulisan tangan. Sebagai bonus ane kasih gambar yang dipakai dalam tutorial di video tadi.

Jeplak: Bismillah, Mulai Nulis Lagih..

Mengenang masa lalu selalu berujung senyum sendiri. Ya. SENDIRI. Malam ini benar-benar sendiri seperti malam-malam sendiri sebelumnya. (Musik sedih tiba-tiba terdengar). Ruang kantor tiba-tiba jadi sepi sesaat sebelum tulisan "Ruang kantor tiba-tiba jadi sepi" dituliskan. Ruang kantor memang sepi tapi tak terasa sepi hingga ditulisnya "Ruang kantor tiba-tiba jadi sepi". Jam segini memang sepi. Hanya orang kurang kerjaan yang masih duduk di sini. Aku salah satunya. Malam ini benar-benar kurang kerjaan. Biasanya memang tak pernah ada kerjaan. Tapi malam ini kekurangkerjaan itu lebih terasa kekurangkerjaannya. Film bajakan di situs tongkrongan tak ada yang menarik jari untuk diklik donlot. Chat di Whatsapp tak ada yang menarik. Tak ada yang ingatkan makan. Lagipula percuma. Aku sudah makan. Ku tengok Facebook, masih begitu saja. Isinya tulisan orang asing yang kuakui teman. Halaman profil iseng kubuka. Dan nostalgia pada tulisan dan gambar lama sedikit memberi seri

Kisah: Paksi Janadri di Perut Bumi (Bag. 5)

Camp, 15 Februari 2014 08.00 WIB disepakati sebagai waktu memulai penelusuran kedua. Setelah sebelumnya melewati ritual biasa semisal sarapan dan stretching. Pada pukul tersebut, Kang Agen juga telah undur diri untuk kembali ke Cimahi. Untuk selanjutnya yang menjadi mentor tentu saja Kang Ngawir Sigi. Gua Cilalay menjadi target kami di penelusuran kedua ini. Cokor bertugas sebagai leader, Kang Ngawir Sigi menjadi secondman, Peppy bagian palog, Endris dokumenter, dan Bolong menjadi cleaner. Sementara penjaga camp, Kang Dobol seorang. Lokasi Cilalay yang tak jauh dari camp tak sulit ditemukan. Mulut gua tak jauh dari jalan setapak yang biasa dilalui masyarakat sekitar. Tak heran saat melakukan persiapan kami dilalui masyarakat yang hendak beraktivitas. Adzan kembali dikumandangkan. Kali ini Bolong yang menjadi muadzin. Cokor memasang tambatan webing. Satu persatu anggota tim turun ke dalam gua. Kapur tampak dominan menghiasi dinding gua. Penelusuran gua Cilalay tak jauh berbeda dib